17 Des 2018

AYDA 

Bagi BPR, Agunan Yang Diambil Alih (AYDA) adalah aset yang diperoleh BPR dalam rangka penyelesaian Kredit, baik melalui pelelangan, atau diluar pelelangan berdasarkan penyerahan secara sukarela oleh pemilik agunan atau berdasarkan surat kuasa untuk menjual diluar lelang dari pemilik agunan dalam hal Debitur telah dinyatakan Macet, dengan kewajiban untuk segera dicairkan kembali.

Mencagu pada Pedoman Akuntansi BPR:
Agunan kredit yang diserahkan debitur kepada BPR dapat dibagi 2, yaitu:

1. Penyelesaian kredit (Agunan Yang Diambil Alih)
  • Perjanjian kredit antara BPR dan debitur selesai;
  • BPR tidak berhak atas tambahan pembayaran jika nilai Agunan Yang Diambil Alih lebih rendah dibandingkan nilai kredit yang diselesaikan
  • BPR tidak berkewajiban untuk melakukan pembayaran kepada debitur jika nilai Agunan Yang Diambil Alih lebih tinggi dibandingkan nilai kredit yang diselesaikan.
2. Proses penyelesaian kredit
  • Perjanjian kredit antara BPR dan debitur tidak berakhir ketika agunan dikuasai oleh BPR;
  • BPR berhak atas tambahan pembayaran jika nilai agunan lebih rendah dibandingkan nilai kredit yang diselesaikan
  • BPR berkewajiban untuk melakukan pembayaran kepada debitur jika nilai agunan lebih tinggi dibandingkan nilai kredit yang diselesaikan.

Agunan Yang Diambil Alih akan dicatat dalam neraca hanya yang berasal dari penyelesaian kredit, sedangkan AYDA yang diperoleh melalui proses penyelesaian kredit hanya dicatat pada rekening administratif.


BPR wajib melakukan upaya penyelesaian terhadap Agunan Yang Diambil Alih yang dimiliki yaitu mengupayakan penjualan dengan segera serta mendokumentasikan upaya penyelesaian tersebut.

Mengenai Hasil Penjualan AYDA yang Diperoleh atas Penyerahan Sukarela
Jika hasil penjualan AYDA melebihi nilai kredit yang diselesaikan, maka seyogyanya dikembalikan kepada mantan Debitur. Memang dalam ketentuan Pedoman Akuntansi BPR disebutkan BPR tidak berkewajiban untuk melakukan pembayaran kepada debitur jika nilai Agunan Yang Diambil Alih lebih tinggi dibandingkan nilai kredit yang diselesaikan. Kata "Tidak berkewajiban" harusnya dimaknai bukan berarti tidak bolehkan?

Rasio AYDA
Rasio AYDA terhadap Total Kredit dapat dijadikan salah satu indikator untuk menilai kualitas manajemen perkreditan, semakin besar rasio ini menunjukkan semakin buruk kualitas manajemen perkreditan. Rasio AYDA  0% adalah paling ideal.

Hati-hati terhadap AYDA

Selama ini AYDA dapat menjadi solusi penyelesaian kredit macet, namun menjadi risiko bagi BPR ketika AYDA tidak dapat diselesaikan dalam waktu 12 bulan, karena wajib diperhitungkan sebagai pengurang dalam perhitungan KPMM sebesar 100% dari nilai AYDA untuk AYDA yang dimiliki lebih dari 1 tahun.

Pada Peraturan 33/POJK.03/2018 diatur bahwa AYDA berupa tanah/bangunan dengan hak milik, hak guna bangunan ataupun sewa, yang tidak dapat diselesaikan wajib diperhitungkan sebagai pengurang modal inti dalam perhitungan KPMM sebesar:
  • 50% dari nilai AYDA untuk AYDA yang dimiliki lebih dari 1 tahun sampai dengan 3 tahun.
  • 75% dari nilai AYDA untuk AYDA yang dimiliki lebih dari 3 tahun sampai dengan 5 tahun.
  • 100% dari nilai AYDA untuk AYDA yang dimiliki lebih dari 5 tahun.
AYDA berupa hipotek atau fidusia berupa kendaraan bermotor, kapal, perahu bermotor, alat berat, dan/atau mesin yang menjadi satu kesatuan dengan tanah, yang tidak dapat diselesaikan wajib diperhitungkan sebagai pengurang modal inti dalam perhitungan KPMM sebesar:

  • 50% dari nilai AYDA untuk AYDA yang dimiliki lebih dari 1 tahun sampai dengan 2 tahun.
  • 100% dari nilai AYDA untuk AYDA yang dimiliki lebih dari 2 tahun.

Jadi kesimpulannya, BPR perlu menakar seberapa kuat permodalannya untuk mengantisipasi adanya AYDA yang tidak terjual dalam waktu 12(duabelas) bulan. Perlu diingat bahwa BPR wajib memiliki modal inti minumum Rp 6 miliar pada akhir tahun 2019 (namun ada kesempatan pentahapan Rp 3 miliar pada tahun 2019 dan Rp 6 miliar pada tahun 2024 bagi BPR yang pada tahun 2015 belum mencapai Rp 3 miliar). Selain itu, BPR masih menghadapi risiko masuk dalam status pengawasan intensif, jika rasio KPMM turun di bawah 8% untuk periode hingga 2019 dan di bawah 12% untuk periode 2020 dan seterusnya) atau lebih parahnya bisa masuk status pengawasan khusus, jika rasio KPMM turun di bawah 4% untuk periode hingga 2019 dan di bawah 8% untuk periode 2020 dan seterusnya.