29 Mar 2009

GRAMEEN BANK, Sebuah Inspirasi…

Penulis bersama Prof. Muhammad Yunus.

Gramen Bank, siapa sih yang tidak tahu. Saya yakin sebagian besar para pelaku keuangan mikro mengenal Professor Muhammad Yunus, sang pendiri Grameen Bank. Namun tidak ada salahnya kita mencoba mengenal lebih jauh apa sih yang dilakukan sang Professor hingga bergema ke seluruh penjuru dunia? Berikut ini penulis kutip dari buku “Grammen Bank at a Glance”, terbitan Juni 2008.

Proyek Grameen Bank lahir di desa Jobra, Bangladesh pada tahun 1976 dan pada tahun 1983 resmi menjadi sebuah bank. 13 Oktober 2006 merupakan hari yang sangat bersejarah dan juga hari yang sangat menggembirakan bagi rakyat Bangladesh, karena Grameen Bank dan Professor Muhammad Yunus menerima hadiah Nobel Perdamaian tahun 2006. Mereka pantas berbangga, karena mendapat pengakuan atas apa yang telah mereka lakukan untuk menciptakan perdamaian dengan cara menurunkan tingkat kemiskinan. Kosep dan metodologi kredit mikro yang dianut oleh Grameen Bank selama 30 tahun telah memberikan kontribusi untuk meningkatkan kesempatan damai dengan menurunkan tingkat kemiskinan.

Konsep Grameen Bank hampir berlawanan dengan apa yang selama ini dilakukan oleh bank-bank konvensional. Pada umumnya, bank konvensional menggunakan prinsip bahwa yang lebih kaya akan mendapatkan lebih banyak. Dengan kata lain, jika anda punya sedikit atau tidak punya apa-apa, maka anda tidak akan mendapat pinjaman. Sebagai akibatnya, lebih dari separuh penduduk dunia tidak mendapat pelayanan jasa keuangan dari bank konvensional. Jika bank konvensional lebih mengutamakan kolateral, sedangkan Grameen Bank tanpa agunan.

Grameen Bank percaya bahwa kredit seharusnya diterima oleh masyarakat seperti halnya hak asasi manusia. Grameen Bank memulai dengan menerapkan sistem dimana seseorang yang tidak punya apa-apa akan memperoleh prioritas tertinggi untuk mendapatkan pinjaman. Metodologi Grameen Bank tidak berdasarkan pada kepemilikan materi melainkan pada potensi seseorang. Sebenarnya manusia termasuk kaum miskin mempunyai berkah potensial yang tidak pernah berkesudahan.

Bank konvensional melihat apa yang telah diperoleh oleh seseorang, Grameen melihat potensi yang sedang menunggu untuk dilepaskan kepada seseorang.

Bank konvensional dimiliki oleh kaum kaya, sedangkan Grameen Bank dimiliki oleh kaum miskin. Tujuan bank konvensional umumnya adalah memaksimalkan profit, sedangkan Grameen Bank memberikan layanan keuangan kepada kaum miskin, khususnya kaum perempuan dan duafa untuk membantu mereka melawan kemiskinan, namun tetap menguntungkan. Sebagai gambaran, disaat Pemerintah Bangladesh menggulirkan program kredit mikro dengan suku bunga tetap 11% flat, Grameen bank suku bunga 0% (nol persen) untuk para pengemis, 5% bagi kredit pendidikan, 8% bagi kredit perumahan dan 20% bagi kredit untuk usaha dan semuanya dihitung dengan metode saldo menurun.

Bank konvensional lebih fokus pada nasabah pria, sedangkan Grameen Bank memberi prioritas utama kepada kaum perempuan (97% debiturnya adalah perempuan). Grameen Bank memiliki misi untuk memberdayakan kaum perempuan sekaligus menaikkan status perempuan-perempuan miskin di dalam lingkungan keluarga. Grameen bank pun berprinsip bahwa seharusnya bank yang mendatangi nasabahnya bukan sebaliknya, ini untuk meringankan beban mereka.

Suatu hal yang sangat mencolok adalah bahwa ketika seorang debitur mengalami kesulitan dalam membayar angsuran, bank konvensional umumnya dengan segala upaya menyelamatkan uangnya, bahkan tak jarang menggunakan jasa debt-collector yang sangar-sangar tanpa belas kasihan, Grameen Bank bekerja keras untuk membantu nasabahnya untuk keluar dari kesulitannya. Bank konvensional umumnya tidak pernah memperhatikan apa yang terjadi pada keluarga debiturnya setelah menerima pinjaman dari bank. Grameen Bank memberi perhatian ekstra terhadap masalah pendidikan anak-anak melalui pemberian beasiswa bahkan memberikan pinjaman untuk pendidikan, masalah rumah, sanitasi, air bersih, bahkan hingga membantu ketika menghadapi bencana alam atau situasi darurat lainnya.

Kini Grameen Bank memiliki 2.517 kantor cabang dengan 24.489 pegawai yang melayani 82.312 desa dengan 7,53 juta debitur, dimana 97% diantaranya adalah kaum perempuan. Dan yang sangat menakjubkan adalah bahwa tingkat pengembalian kredit mencapai 98,11 %. Sejak 1995, Grameen Bank sudah tidak menerima dana dari donatur. Kini seluruh pembiayaan bersumber dari simpanan nasabahnya.

KESIMPULAN:
Dari apa yang telah kita pelajari di atas, ternyata bank dengan tujuan utama adalah memberdayakan masyarakat dapat berkembang dengan begitu dashyat dan memiliki hubungan emosional yang begitu mendalam antara nasabah dan bank, bahkan nasabah merasa memiliki bank, suatu kekuatan yang luar biasa. Bank bak pahlawan bagi masyarakat miskin, namun tetap dapat menciptakan laba.

RENUNGAN:
Ketika kita tidak berpihak pada nasabah maka tidak ada bedanya kita dengan rentenir. Ketika kita menggunakan jasa debt-collector maka tidak ada bedanya kita dengan preman. Ketika kita membuang muka saat nasabah datang menyapa, maka tidak ada bedanya kita dengan orang yang sedang menuju jalan buntu.

Kini saatnya kita mewujudkan arti seorang sahabat bagi debitur kita. Saatnya investasi kesetiaan untuk mendapatkan nasabah sejati melalui niat baik kita dalam melakukan pembinaan agar nasabah dapat melakukan usaha dengan lebih baik. Mewujudkan suatu lembaga keuangan mikro yang tangguh tidak cukup hanya melihat sisi penciptaan laba, tetapi perlu selalu mengupayakan peningkatan potensi masyarakat pengguna jasa kita. Karena sebenarnya potensi kita tergantung pada potensi masyarakat yang kita layani.

APAKAH CUKUP DENGAN 6 C?



Memberikan kredit adalah hal yang mudah, bahkan orang bodoh pun dapat meminjamkan uang. Namun sebagai bankir, masalahnya tentu tidak segampang itu, banyak aspek yang harus dipertimbangkan. Kita mengenal adanya 6C yang menjadi dasar analisa dalam menyalurkan kredit, yaitu: Character (watak), Capacity (kemampuan), Cash Flow (arus kas), Capital (modal), Condition (kondisi), Collateral (agunan). Banyak literatur maupun kebijakan bank tentang kredit, semuanya bertujuan bagaimana mengamankan kredit. Semua itu hanya menilai apakah peminjam dapat memenuhi kewajibannya kepada bank? Pernahkah kita sebagai bankir memikirkan apakah dengan pemberian kredit tersebut akan mendatangkan manfaat kepada si peminjam? Apakah kita benar-benar niat untuk memberdayakan perekonomian nasabah?

UU No. 7 tahun 1992 tentang Perbankan, pasal 4: “Perbankan Indonesia bertujuan menunjang pelaksanaan pembangunan nasional dalam rangka meningkatkan pemerataan, pertumbuhan ekonomi dan stabilitas nasional kearah peningkatan kesejahteraan rakyat banyak”.


Jika kita mentaati UU tersebut, maka seyogyanya dalam setiap pemberian kredit, kita harus mengupayakan adanya peningkatan kesejahteraan bagi si peminjam. Sebagai pelaku perbankan, khususnya BPR, umumnya sasaran pemberian kredit adalah rakyat kecil, terutama sektor usaha mikro dan kecil. Kita ketahui bahwa para pelaku usaha mikro dan kecil umumnya berpikir secara sederhana dan polos. Kadang-kadang pengetahuan matematikanya juga pas-pasan, sehingga kemampuan untuk mengkalkulasi, strategi usaha juga lemah, termasuk kemampuan menentukan kemampuan dirinya sendiri (maaf bagi yang pintar, anda tidak termasuk dalam cakupan tulisan ini).

Sering kali, nasabah menjadi korban dari kesalahan bank dalam menentukan pemberian kredit, akibatnya usahanya bangkrut, rumah disita, keluarga berantakan, dan seterusnya. Bank aman, karena kredit telah diselesaikan melalui sita agunan. Tahukah kita, bahwa nasabah tersebut sekarang sudah menjadi “not bankable”, tidak punya usaha, tidak punya agunan, keluarga tidak utuh. Nasabah dan bank menjadi putus hubungan, sementara itu, bank mencari calon nasabah yang lain.

Banyak kesalahan yang dilakukan bank, ada bank hanya melihat adanya agunan, sedangkan aspek-aspek lainnya kurang diperhatikan. Kesalahan lain, adalah bank menetapkan bunga kredit setinggi-tingginya, tanpa memperhitungkan apakah keuntungan bersih nasabah masih lebih tinggi dari bunga yang harus dibayar ke bank? Memang benar, nasabah kecil umumnya tidak mempermasalahkan suku bunga, karena sulitnya mendapatkan pinjaman, tetapi bukan berarti itu menjadi senjata kita bukan? Ada juga bank yang tidak dapat menghitung biaya secara tepat, sehingga bunga yang dibebankan kepada peminjam tidak punya dasar yang kuat, atau bisa jadi karena ketidakefisienan bank menjadi beban peminjam.

Apakah benar nasabah selalu lebih tahu tentang dirinya dan usahanya? Belum tentu, mungkin ada kalanya kita perlu memberikan kontribusi informasi kepada nasabah juga. Nasabah kecil, selain butuh kredit, juga butuh pembinaan. Kita butuh padi tentu harus tanam padi, kita butuh jagung tentu harus tanam jagung, kita butuh pengembalian kredit yang baik tentu harus tanam niat baik pada setiap kredit yang disalurkan.

Kini saatnya, kita instrospeksi, apakah NPL yang tinggi tersebut sebenarnya merupakan kontribusi kesalahan dari kita sendiri? Apakah nasabah-nasabah yang agunan disita merupakan korban kesalahan kita? Kini saatnya kita menambahkan C yang ke 7 dalam analisa kredit, setuju?

Intinya, yang mau disampaikan disini adalah bahwa selain kita menjalankan prinsip kehati-hatian dalam pemberian kredit, melakukan analisa, berbagai kebijakan kredit, kiranya masih ada hal yang perlu kita lakukan, yaitu memastikan kredit yang diberikan tersebut akan mendatangkan manfaat yang lebih bagi si peminjam. Seorang bankir, selain kemampuan menjalankan usaha banknya secara profesional, punya integritas yang tinggi, perlu selalu menghadirkan niat baiknya di dalam melayani setiap nasabahnya. Setiap nasabah yang dibiayai harusnya sudah diyakini akan dapat meningkatkan ekonominya, sehingga kita akan menjadi bagian dari masyarakat yang ada di sekitar, menjadi bagian dari penggerak perekonomian masyarakat. Ikut beperan dalam membangun perekonomian masyarakat sekitar sebenarnya kita sedang mengembangkan dan meningkatkan potensi pasar usaha kita.