Rabu, 16 Feb 2011, di hadapanku duduklah sepasang suami istri, sebut saja namanya bapak M dan ibu S. Keduanya memenuhi panggilan bank terkait dengan permohonan kredit sebesar Rp. 40 juta. Ini adalah kebijakan bank, bahwa setiap pemohon perorangan dalam jumlah tertentu harus melalui tahapan wawancara yang harus datang bersama pasangannya.
Pak M berdasarkan data yang ada adalah seorang pegawai negeri sipil yang bekerja di sebuah kecamatan di Jakarta, golongan 2d, dan menurut daftar gaji yang disodorkan, maka setiap bulannya dia menerima sekitar Rp. 6,5 juta (ternyata besar juga gaji seorang pns). Berdasarkan BI checking (sistem informasi debitur), bapak ini masih mempunyai pinjaman di suatu bank daerah dan cicilan kendaraan di suatu bank swasta, sehingga total angsuran kredit mencapai sekitar Rp. 5 juta tiap bulannya, artinya bapak M ini telah menghabiskan lebih dari 2/3 gajinya untuk membayar cicilan pinjaman.
Lalu seperti biasanya, saya konfirmasikan tentang tujuan penggunaannya, katanya untuk biaya anaknya melanjutkan ke S1, semester ini anaknya akan tamat D3 perawat, nah mau lanjut ke S1 perlu uang Rp. 40 juta... wah, kok mahal sekali pak? tanyaku. Memangnya bapak mau masukkan ke sekolah mana pak? nggak, hanya lanjutkan di rumah sakit pemerintah.. lho, tambah bingung saya..
Lalu juga saya konfirmasikan penghasilan dan besarnya kewajibannya kepada pihak kreditur tiap bulannya. Berdasarkan data yang ada, maka pak M sudah tidak ada kemampuan untuk menambah besarnya angsuran kredit, dengan kata lain tidak layak untuk mendapatkan kredit lagi. Namun dengan entengnya, pak M menjawab bahwa dia sanggup membayarnya, karena selain gaji resmi, dia masih ada sampingan. Lho, sampingan dari mana? lalu dia menjawab 'bapak tahu sendiri lah... saya kan bagian bagi-bagi proyek, jadi tiap bulan pasti ada masukan dari situ...'
Dengan terpaksa, permohonan tersebut tidak dapat diproses lebih lanjut, alasan pertama adalah biaya untuk melanjutkan ke S1 ternyata sebagian digunakan untuk menyogok pihak rumah sakit agar anaknya diterima. Alasan kedua adalah sumber pengembalian kredit berasal dari hasil tilepan uang negara...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar